Jumat, 23 Desember 2016
Kamis, 22 Desember 2016
Arti Lambang
Arti Lambang
dan Bendera PMII
1.
Arti
Lambang dan Bendera PMII
LAMBANG PMII
Pencipta lambang PMII : H. Said Budairi
Makna lambang PMII
A.
Bentuk
:
a)
Perisai
berarti ketahanan dan keampuhan mahasiswa Islam terhadap berbagai tantangan dan
pengaruh dari luar.
b)
Bintang
adalah perlambang ketinggian dan semangat cita-cita yang selalu memancar.
c)
5
(lima) bintang sebelah atas melambangkan Rasulullah dengan empat sahabat
terkemuka (khulafaurrasyidin).
d)
4
(empat) bintang sebelah bawah menggambarkan empat mazhab yang berhadluan
Ahlussunah Wal Jama’ah.
e)
9
(sembilan) bintang secara keseluruhan dapat berarti :
1.
Rasulullah
dengan empat orang sahabatnya serta empat orang imam mazhab itu laksana bintang
yang selalu bersinar cemerlang, mempunyai kedudukan yang tinggi dan penerang
umat manusia.
2.
Sembilan
bintang juga menggambarkan sembilan orang pemuka penyebar agama islam di
Indonesia yang disebut dengan Wali Songo
B.
Warna:
a)
Biru,
sebagaimana tulisan PMII, berarti kedalaman ilmu pengetahuan yang harus
dimiliki dan harus digali oleh warga pergerakan, biru juga menggambarkan lautan
Indonesia dan merupakan kesatuan Wawasan Nusantara
b)
Biru
muda, sebagaimana dasar perisai sebelah bawah berarti ketinggian ilmu pengetahuan,
budi pekerti dan taqwa.
c)
Kuning,
sebagaimana perisai sebelah atas berarti identitas mahasiswa yang menjadi sifat
dasar pergerakan, lambang kebesaran dan semangat yang selalu menyala serta
penuh harapan menyongsong masa depan
C.
Penggunaan:
a.
Lambang
PMII digunakan pada papan nama, bendera, kop surat, stempel, badge, jaket,
kartu anggota, dan benda atau tempat lain yang tujuannya untuk menunjukkan
identitas organisasi.
b.
Ukuran
lambang PMII disesuaikan dengan wadah penggunaanya.
BENDERA PMII
Pencipta Bendera PMII : Shaimory
b. Ukuran Bendera PMII : Panjang dan lebar (4 : 3)
c. Wrana dasar bendera PMII : Kuning
d. Isi bendera PMII :
– Lambang PMII terletak di bagian tengah
– Tulisan PMII terletak di sebelah kiri lambang membujur ke bawah.
e. Penggunaan bendera PMII
– Digunakan pada upacara-upacara resmi organisasi baik intern maupun ekstern
dan upacara nasional.
IDEOLOGI PMII
Membandingkan
ideologi & NDP dalam ranah ke-PMII-an
Manusia pada hakikatnya yang nyata adalah makhluk sosial. Semenjak lahir sampai
matipun keberadaanya saling membutuhkan antara satu dan yang lainnya. Dalam
kehidupannya banyak cara dilakukan untuk mengukuhkan keberadaanya sebagai
makhluk sosial (bersosialisasi), salah satunya adalah dengan cara
berorganisasi. Dalam kesehariannya (bersosialisasi dan berorganisasi) tentunya
dibutuhkan landasan berpijak/berfikir atau yang biasa disebut keberadaannya
sebagai ideologi, guna melahirkan aturan-aturan dalam kehidupan dan sebagai
dasar dari setiap pemikiran, arah gerakan, juga sebagai landasan tentang
kebenaran.
Ideologi dikumandangkan pertama kali oleh Antoine Destutt de Tracy (seorang
revolusioner Perancis (1754-1836)). Beliau melihat bahwa ketika revolusi
berlangsung, banyak ide atau pemikiran telah menginspirasi ribuan orang untuk
menguji kekuatan ide-ide tersebut dalam kancah pertarungan politik dan mereka
mau mengorbankan hidup demi ide-ide yang diyakini tersebut (bahkan sampai
sekarang). Latar belakang inilah yang mendorong de Tracy (dan saya sekarang)
untuk mengkaji tentang ideologi. Terlebih perdebatan tentang ideologi masih
memiliki ruangnya sendiri (dalam PMII atau institusi lainnya) tentang
keberadaanya yang masih menuai kritik dan evaluasi terhadapnya.
Ideologi secara etimologis (dalam pengertian kalangan santri disebut definisi
lugothan (definisi secara bahasa)) berasal dari kata idea (ide/gagasan) dan
ology/logos (ilmu). Namun, definisi lugothan ini tidak dapat dijadikan pijakan
untuk memahami ideologi lebih mendalam. Oleh karena itu bila ada definisi
secara lugothan/bahasa (dikalangan santri) ada pengertian secara istilahan
(definisi secara lebih mendalam dan terarah). Secara istilahan ideologi
didefinisikan sebagai kumpulan ide/gagasan/aqidah aqliyyah (akidah (keyakinan
yang mendasar) yang sampai melalui proses berfikir) yang melahirkan
aturan-aturan dalam kehidupan. Oleh sebab itu ideologi juga dianggap sebagai
landasan kebenaran yang fundamental (mendasar). Dan karenanya pula tidak
terlalu salah juga bila ideologi disebut sebagai sumber kebenaran dan
keberadaannya adalah sebagai ruh dari operasi praktis kehidupan (organisasi).
Peranan ideologi adalah sebagai wadah/tempat bagi kebenaran atau bahkan sebagai
sumber kebenaran itu sendiri yang disatu sisi dinilai sebagai pencerah umat, akan
tetapi disisi lain juga dijadikan sebagai alat hegemoni (pengunggul) umat.
Ideologi juga kadang menjadi tameng pembenaran umat/golongan tertentu atau
bahkan individu-individu yang berkepentingan, dan digunakan untuk tujuan-tujuan
yang tidak selayaknya. Karena dalam prosesnya kemudian ideologi ada tidak bebas
dari kepentingan prinsip peng-ada-an. Suatu materi diciptakan/diadakan
(contohnya organisasi) pasti punya maksud dan tujuan. Ironisnya
kepentingan/tujuan yang pada awalnya untuk kebaikan sesama tanpa adanya
pengistimewaan/pengklarifikasian kemudian berubah menjadi milik segolongan
tertentu. Dalam organisasi ideologi lebih diperankan sebagai identitas dari
organisasi tersebut dan di biasanya gunakan sebagai pendoktrin untuk membentuk
paradigma keorganisasian.*
Karena alasan-alasan seperti yang tersebut diatas itulah keberadaan ideologi
dalam organisasi sangat dibutuhkan sebagai identitas dan landasan berfikir yang
sangat fundamental dalam setiap gerakan juga menjadi kerangka yang sistematis
agar keberadaa organisasi tidak melenceng dari konsep dan tujuan awal
pendiriannya.
Dibawa kedalam ranah PMII, ideologi PMII atau yang biasa di sebut sebagai
identitas PMII yang digali dari sumber-sumbernya yaitu ke-Islam-an dan
ke-Indonesia-an dalam pemahaman ke-ASWAJA-an, telah tersublimasi keberadaannya
menjadi rumusan materi yang terkandung dalam NDP PMII (Nilai Dasar Pergerakan
PMII), semacam Qonun azasi di-PMII atau itu yang di sebut ideologi. ASWAJA
sendiri yang pada awal pendirian PMII ingin di perankan sebagai ideologi
di-PMII, kini peranannya lebih difokuskan sebagai manhaj al-Fiqr (landasan
pemikiran semata/sebagai pengontrol arah pergerakan) dan manhaj at-Taghayyur
al-Ijtima’i (perubahan sosial).
Tapi, sebagaimana yang kita tahu/dengar dikalangan warga pergerakan PMII
sendiri bahwa NDP PMII tidak dapat dikatakan sebagai ideologi PMII karena telah
mengalami pemahaman yang berbeda, meluas, mendalam, juga terumuskan secara rapi
dan tersusun. Karena rumusan NDP PMII (seperti yang tersebut diatas) adalah
sublimasi dari ke-Islam-an dan ke-Indonesia-an yang berhaluan Ahlussunnah
wal-Jama’ah, yang berisikan tentang ke-Tauhid-an, pengyakinan kita terhadap
Tuhan yang maha esa. Dan bentuk pengyakinan itu terletak pada pola
relasi/hubungan antara komponen-komponen yang ada di-alam dengan Tuhan. Pola
relasi itu yang menjadi rumusan dasar dalam NDP PMII dan di bagi kedalam 4
bagian yakni :
1-Ke-Tauhid-an ;
2-Hubungan antara manusia dengan Tuhan ;
3-Hubungan antara manusia dengan manusia ; dan
4-Hubungan antara manusia dengan alam.
Juga keberadaannya sebagai penyelaras antara vertical line (rumusan ke-1 dan
ke-2) juga horizontal line (rumusan ke-3 dan ke-4). Dengan begitu kita tahu
bahwa ideologi tidak dapat disamakan keberadaannya dengan NDP PMII, karena
selain telah mengalami perbedaan pemahaman yang meluas juga mendalam tentang
keberadaanya. NDP PMII sendiri juga sudah berbeda serta lebih tinggi (karena di
dalamnya sudah tertanam peranan ideologi) dan terarah kedudukan serta fungsinya
dari pada ideologi. Ideologi yang kedudukannya sebagai ccc identitas organisasi
dan berfungsi sebagai landasan berfikir serta berpijak untuk suatu tujuan yang
idealist. Sedangkan NDP PMII berkedudukan sebagai :
a) sumber kekuatan ideal moral dari aktifis pergerakan ; dan
b) pusat argumentasi dan pengikat kebenaran dari kebebasan berfikir, berucap,
dan bertindak dalam aktifitas pergerakan.
Dan juga berfungsi sebagai :
a) kerangka refleksi (landasan dalam berfikir) ;
b) kerangka aksi (landasan berpijak) ;
c) kerangka idelogis (sumber motivasi).**
Akhirnya, karena alasan-alasan diatas itulah kalangan warga pergerakan tidak
meg-iya-kan bila NDP PMII di sebut sebagai ideologi.
Dan setelah kita memahami sedikit tulisan saya tentang pemahaman ideologi dan
bagaimana cara PMII memandang dan menempatkannya, juga memahami sekilas tentang
dasar rumusan NDP PMII, barulah kita dapat sedikit tahu apa dan kemana
arah/tujuan pergerakan serta keberadaan kita sebagai kader di-PMII.
AKHIRNYA SAYA UCAPKAN TERIMAH KASIH
SALAM PERGERAKAN…!
Tangan terkepal dan maju kemuka…!!!
ASWAJA
AHLUSSUNNAH WAL
JAMA’AH DALAM ILMU TAUHID
Di dalam mempelajari Ilmu Tauhid atau aqidah, madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah
(Aswaja) menggunakan dalil nadli dan aqli. Dalil naqli ialah dalil dari
Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW dan dalil Aqli ialah dalil yang berdasarkan
akan pikiran yang sehat.
Sebagaimana dikemukakan bahwa madzhab Mu’tazilah mengutamakan dalil akal dari
pada dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah. Mereka berani menafsirkan Al-Qur’an menurut
akal mereka, sehingga
ayat-ayat Al-Qur’an disesuaikan dengan akal mereka. Apabila ada hadits yang
bertentangan dengan akal, mereka ditinggalkan itu dan mereka berpegang kepada
akal pikirannya. Ini merupakan suatu these (aksi) yang akhirnya menimbulkan
antithesa (reaksi) yang disebut golongan Ahlul Atsar(أهل الأثار)
Cara berpikir Ahlul Atsar adalah kebalikan cara berpikir golongan Mu’tazilah.
Ahlul Atsar hanya berpegangan kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Mereka tidak
berani menafsirkan Al-Qur’an menurut akal, karena khawatir takut keliru,
khususnya dalam ayat-ayat Al-Mutasyabihaat mereka menyerahkan maknanya kepada
Allah SWT.
Seperti firman Allah SWT dalam surat al-Fath [48] ayat 10:
َيدُاللهِ فَوْقَ أَيْدِيْهِمْ
“Tangan Allah di atas tangan mereka”.
Ahlul Atsar tidak mau menafsirkan apa yang dimaksud dengan tangan pada ayat
tersebut, mereka menyerahkan maknanya kepada Allah SWT. Fatwa mereka hanya
berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah semata. Apabila mereka tidak menjumpai
dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah mereka tidak berani untuk berfatwa. Dari golongan
ini lahirlah seorang Imam yang bernama Muhammad bin Abdul Wahab. Beliau
dilahirkan di Nejed tahun1703 M.
Dengan demikian, madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah yang dibawakan oleh Al-Imam
Abdul Hasan Al-Asy’ari dan Abu Manshur Al-Maturidi mengembalikan ajaran Islam
kepada Sunnah Rasulullah SAW dan para shahabatnya dengan berpegangan kepada
dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan tidak meninggalkan dalil-dalil akal.
Artinya memegang kepada dalil akal tetapi lebih mengutamakan dalil Al-Qur’an
dan As-Sunnah.
Cara Mempergunakan Dalil dalam Ilmu Tauhid
Madzhab Ahlusunnah wal Jama’ah mendahulukan atau mengutamakan dalil naqli dari
pada dalil aqli. Jika akal manusia diibaratkan mata, maka dalil naqli diibaratkan
pelita. Agar mata kita tidak tersesat, maka pelita kita letakkan di depan
kemudian mata mengikuti pelita. Akal manusia mengikuti dalil Qur’an dan Hadits
bukan Qur’an dan hadits yang disesuaikan dengan akan manusia.
Rasulullah SAW bersabda: (لاَدِيْنَ ِلمَنْ لاَ عَقْلَ لَهُ) tidak ada agama bagi orang yang tidak
berakal. Maksudnya, orang yang berakal menerima agama. Akal menerima agama,
bukan agama menerima akal, karena akal manusia bermacam-macam. Agama ialah
syariat yang diletakkan oleh Allah SWT bersumberkan kepada wahyu dan sunnah
Rasulullah SAW bukan bersumberkan kepada akal. Agama bukan akal manusia dan
akal manusia bukan agama.
Fatwa agama yang datang dari mana pun saja kalau tidak berdasarkan Al-Qur’an,
As-Sunnah, Al-Ijma’ dan Al-Qiyas wajib kita tolak. Maka di dalam ilmu Tauhid
kita berpegangan kepada Al-Imam Abul Hasan Al-Asy’ari dan Imam Abu Manshur
Al-Maturidi.
Al-Imam Abul Hasan Al-Asy’ari dilahirkan di Bashrah pada tahun 260 H dan wafat
tahun 324 H. Beliau belajar kepada ulama’ Mu’tazilah, di antaranya Al-Imam
Muhammad bin Abdul Wahab Al-Jabal. Karena pada masa itu Mu’tazilah merupakan
madzhab pemerintah pada zaman khalifah Abbasiyah; khalifah Al-Ma’mun bin Harun
Al-Rasyid al-Mu’tashim dan Al-Watsiq, dan beliau termasuk pengikut setia
madzhab mu’tazilah.
Setelah beliau banyak melihat kekeliruan faham Mu’tazilah maka beliau
menyatakan keluar dari Mu’tazilah di depan khalayak ramai dengan tegas, bahkan
akhirnya beliau menolak pendapat-pendapat Mu’tazilah dengan dalil-dalil yang
tegas.
Dalam ilmu Tauhid, rukun iman menurut Ahlussunnah wal Jama’ah ada 6 (enam):
Iman kepada Allah, kepada para Nabi/Rasul Allah, Kitab Suci Allah, Malaikat
Allah, Hari Akhir, dan Qadla/Qadar Allah, yang insya Allah akan diuraikan pada
kesempata berikutnya.
KH A Nuril Huda
Ketua PP Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU)
Sejarah PMII
SEJARAH PMII
Pergerakan
Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) merupakan salah satu elemen mahasiswa yang terus bercita-cita mewujudkan Indonesia ke depan menjadi lebih baik. PMII berdiri tanggal 17 April 1960 dengan latar belakang situasi politik tahun 1960-an yang mengharuskan mahasiswa turut andil dalam mewarnai
kehidupan sosial politik di Indonesia. Pendirian PMII dimotori oleh kalangan
muda NU (meskipun di kemudian hari dengan dicetuskannya Deklarasi
Murnajati 14 Juli 1972, PMII menyatakan sikap independen dari lembaga NU). Di antara
pendirinya adalah Mahbub Djunaidi dan Subhan ZE (seorang jurnalis sekaliguspolitikus legendaris).
Latar belakang
pembentukan PMII
Pergerakan
Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) lahir karena menjadi suatu kebutuhan dalam
menjawab tantangan zaman. Berdirinya organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia bermula dengan adanya hasrat kuat para mahasiswa NU untuk mendirikan
organisasi mahasiswa yang berideologi Ahlusssunnah wal Jama’ah. Dibawah ini
adalah beberapa hal yang dapat dikatakan sebagai penyebab berdirinya PMII:
Carut marutnya
situasi politik bangsa indonesia dalam kurun waktu 1950-1959.
Tidak
menentunya sistem pemerintahan dan perundang-undangan yang ada.
Pisahnya NU
dari Masyumi.
Tidak enjoynya
lagi mahasiswa NU yang tergabung di HMI karena tidak terakomodasinya dan
terpinggirkannya mahasiswa NU.
Kedekatan HMI
dengan salah satu parpol yang ada (Masyumi) yang nota bene HMI adalah
underbouw-nya.
Hal-hal
tersebut diatas menimbulkan kegelisahan dan keinginan yang kuat dikalangan
intelektual-intelektual muda NU untuk mendirikan organisasi sendiri sebagai
wahana penyaluran aspirasi dan pengembangan potensi mahasiswa-mahsiswa yang
berkultur NU. Disamping itu juga ada hasrat yang kuat dari kalangan mahsiswa NU
untuk mendirikan organisasi mahasiswa yang berideologi Ahlussunnah Wal Jama’ah.
Organisasi-organisasi
pendahulu
Di Jakarta pada
bulan Desember 1955, berdirilah Ikatan Mahasiswa Nahdlatul Ulama (IMANU) yang
dipelopori oleh Wa’il Harits Sugianto.Sedangkan di Surakarta berdiri KMNU
(Keluarga Mahasiswa Nahdhatul Ulama) yang dipelopori oleh Mustahal Ahmad. Namun
keberadaan kedua organisasi mahasiswa tersebut tidak direstui bahkan ditentang
oleh Pimpinan Pusat IPNU dan PBNU dengan alasan IPNU baru saja berdiri dua
tahun sebelumnya yakni tanggal 24 Februari 1954 di Semarang. IPNU punya
kekhawatiran jika IMANU dan KMNU akan memperlemah eksistensi IPNU.
Gagasan
pendirian organisasi mahasiswa NU muncul kembali pada Muktamar II IPNU di
Pekalongan (1-5 Januari 1957). Gagasan ini pun kembali ditentang karena
dianggap akan menjadi pesaing bagi IPNU. Sebagai langkah kompromis atas
pertentangan tersebut, maka pada muktamar III IPNU di Cirebon (27-31 Desember
1958) dibentuk Departemen Perguruan Tinggi IPNU yang diketuai oleh Isma’il
Makki (Yogyakarta). Namun dalam perjalanannya antara IPNU dan Departemen PT-nya
selalu terjadi ketimpangan dalam pelaksanaan program organisasi. Hal ini
disebabkan oleh perbedaan cara pandang yang diterapkan oleh mahasiswa dan
dengan pelajar yang menjadi pimpinan pusat IPNU. Disamping itu para mahasiswa
pun tidak bebas dalam melakukan sikap politik karena selalu diawasi oleh PP IPNU.
Konferensi
Besar IPNU
Oleh karena itu
gagasan legalisasi organisasi mahasiswa NU senantisa muncul dan mencapai
puncaknya pada konferensi besar (KONBES) IPNU I di Kaliurang pada tanggal 14-17
Maret 1960. Dari forum ini kemudian kemudian muncul keputusan perlunya
mendirikan organisasi mahasiswa NU secara khusus di perguruan tinggi. Selain
merumuskan pendirian organ mahasiswa, KONBES Kaliurang juga menghasilkan
keputusan penunjukan tim perumus pendirian organisasi yang terdiri dari 13
tokoh mahasiswa NU. Mereka adalah:
A. Khalid
Mawardi (Jakarta)
M. Said Budairy
(Jakarta)
M. Sobich Ubaid
(Jakarta)
Makmun Syukri
(Bandung)
Hilman
(Bandung)
Ismail Makki
(Yogyakarta)
Munsif Nakhrowi
(Yogyakarta)
Nuril Huda
Suaidi (Surakarta)
Laily Mansyur
(Surakarta)
Abd. Wahhab
Jaelani (Semarang)
Hizbulloh Huda
(Surabaya)
M. Kholid
Narbuko (Malang)
Ahmad Hussein
(Makassar)
Keputusan
lainnya adalah tiga mahasiswa yaitu Hizbulloh Huda, M. Said Budairy, dan Makmun
Syukri untuk sowan ke Ketua Umum PBNU kala itu, KH. Idham
Kholid.
Deklarasi
Pada tanggal
14-16 April 1960 diadakan musyawarah mahasiswa NU yang bertempat di Sekolah
Mu’amalat NU Wonokromo, Surabaya. Peserta musyawarah adalah perwakilan
mahasiswa NU dari Jakarta, Bandung, Semarang,Surakarta, Yogyakarta, Surabaya,
dan Makassar, serta perwakilan senat Perguruan Tinggi yang bernaung dibawah NU.
Pada saat tu diperdebatkan nama organisasi yang akan didirikan. Dari Yogyakarta
mengusulkan nama Himpunan atau Perhimpunan Mahasiswa Sunny. Dari Bandung dan
Surakarta mengusulkan nama PMII. Selanjutnya nama PMII yang menjadi
kesepakatan. Namun kemudian kembali dipersoalkan kepanjangan dari ‘P’ apakah
perhimpunan atau persatuan. Akhirnya disepakati huruf “P” merupakan singkatan
dari Pergerakan sehingga PMII menjadi “Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia”.
Musyawarah juga menghasilkan susunan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga
organisasi serta memilih dan menetapkan sahabat Mahbub Djunaidi sebagai ketua
umum, M. Khalid Mawardi sebagai wakil ketua, dan M. Said Budairy sebagai
sekretaris umum. Ketiga orang tersebut diberi amanat dan wewenang untuk
menyusun kelengkapan kepengurusan PB PMII. Adapun PMII dideklarasikan secara
resmi pada tanggal 17 April 1960 masehi atau bertepatan dengan tanggal 17
Syawwal 1379 Hijriyah.
Independensi
PMII
Pada awal
berdirinya PMII sepenuhnya berada di bawah naungan NU. PMII terikat dengan
segala garis kebijaksanaan partai induknya, NU. PMII merupakan perpanjangan
tangan NU, baik secara struktural maupun fungsional. Selanjuttnya sejak
dasawarsa 70-an, ketika rezim neo-fasis Orde Baru mulai mengkerdilkan fungsi
partai politik, sekaligus juga penyederhanaan partai politik secara kuantitas,
dan issue back to campus serta organisasi- organisasi profesi kepemudaan mulai
diperkenalkan melalui kebijakan NKK/BKK, maka PMII menuntut adanya pemikiran
realistis. 14 Juli 1971 melalui Mubes di Murnajati, PMII mencanangkan
independensi, terlepas dari organisasi manapun (terkenal dengan Deklarasi
Murnajati). Kemudian pada kongres tahun 1973 di Ciloto, Jawa Barat,
diwujudkanlah Manifest Independensi PMII.
Namun,
betapapun PMII mandiri, ideologi PMII tidak lepas dari faham Ahlussunnah wal
Jamaah yang merupakan ciri khas NU. Ini berarti secara kultural- ideologis,
PMII dengan NU tidak bisa dilepaskan. Ahlussunnah wal Jamaah merupakan benang
merah antara PMII dengan NU. Dengan Aswaja PMII membedakan diri dengan
organisasi lain.
Keterpisahan
PMII dari NU pada perkembangan terakhir ini lebih tampak hanya secara
organisatoris formal saja. Sebab kenyataannya, keterpautan moral, kesamaan
background, pada hakekat keduanya susah untuk direnggangkan.
Makna Filosofis
Dari namanya
PMII disusun dari empat kata yaitu “Pergerakan”, “Mahasiswa”, “Islam”, dan “Indonesia”.
Makna “Pergerakan” yang dikandung dalam PMII adalah dinamika dari hamba
(makhluk) yang senantiasa bergerak menuju tujuan idealnya memberikan kontribusi
positif pada alam sekitarnya. “Pergerakan” dalam hubungannya dengan organisasi
mahasiswa menuntut upaya sadar untuk membina dan mengembangkan potensi
ketuhanan dan kemanusiaan agar gerak dinamika menuju tujuannya selalu berada di
dalam kualitas kekhalifahannya.
Pengertian
“Mahasiswa” adalah golongan generasi muda yang menuntut ilmu di perguruan tinggi
yang mempunyai identitas diri. Identitas diri mahasiswa terbangun oleh citra
diri sebagai insan religius, insan dimnamis, insan sosial, dan insan mandiri.
Dari identitas mahasiswa tersebut terpantul tanggung jawab keagamaan,
intelektual, sosial kemasyarakatan, dan tanggung jawab individual baik sebagai
hamba Tuhan maupun sebagai warga bangsa dan negara.
“Islam” yang
terkandung dalam PMII adalah Islam sebagai agama yang dipahami dengan haluan/paradigmaahlussunah wal
jama’ah yaitu konsep pendekatan
terhadap ajaran agama Islam secara proporsional antara iman, islam, dan ikhsan
yang di dalam pola pikir, pola sikap, dan pola perilakunya tercermin
sikap-sikap selektif, akomodatif, dan integratif. Islam terbuka, progresif, dan
transformatif demikian platform PMII, yaitu Islam yang terbuka, menerima dan
menghargai segala bentuk perbedaan. Keberbedaan adalah sebuah rahmat, karena
dengan perbedaan itulah kita dapat saling berdialog antara satu dengan yang
lainnya demi mewujudkan tatanan yang demokratis dan beradab (civilized).
Sedangkan
pengertian “Indonesia” adalah masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia yang
mempunyai falsafah dan ideologi bangsa (Pancasila)
serta UUD 45