AHLUSSUNNAH WAL
JAMA’AH DALAM ILMU TAUHID
Di dalam mempelajari Ilmu Tauhid atau aqidah, madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah
(Aswaja) menggunakan dalil nadli dan aqli. Dalil naqli ialah dalil dari
Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW dan dalil Aqli ialah dalil yang berdasarkan
akan pikiran yang sehat.
Sebagaimana dikemukakan bahwa madzhab Mu’tazilah mengutamakan dalil akal dari
pada dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah. Mereka berani menafsirkan Al-Qur’an menurut
akal mereka, sehingga
ayat-ayat Al-Qur’an disesuaikan dengan akal mereka. Apabila ada hadits yang
bertentangan dengan akal, mereka ditinggalkan itu dan mereka berpegang kepada
akal pikirannya. Ini merupakan suatu these (aksi) yang akhirnya menimbulkan
antithesa (reaksi) yang disebut golongan Ahlul Atsar(أهل الأثار)
Cara berpikir Ahlul Atsar adalah kebalikan cara berpikir golongan Mu’tazilah.
Ahlul Atsar hanya berpegangan kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Mereka tidak
berani menafsirkan Al-Qur’an menurut akal, karena khawatir takut keliru,
khususnya dalam ayat-ayat Al-Mutasyabihaat mereka menyerahkan maknanya kepada
Allah SWT.
Seperti firman Allah SWT dalam surat al-Fath [48] ayat 10:
َيدُاللهِ فَوْقَ أَيْدِيْهِمْ
“Tangan Allah di atas tangan mereka”.
Ahlul Atsar tidak mau menafsirkan apa yang dimaksud dengan tangan pada ayat
tersebut, mereka menyerahkan maknanya kepada Allah SWT. Fatwa mereka hanya
berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah semata. Apabila mereka tidak menjumpai
dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah mereka tidak berani untuk berfatwa. Dari golongan
ini lahirlah seorang Imam yang bernama Muhammad bin Abdul Wahab. Beliau
dilahirkan di Nejed tahun1703 M.
Dengan demikian, madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah yang dibawakan oleh Al-Imam
Abdul Hasan Al-Asy’ari dan Abu Manshur Al-Maturidi mengembalikan ajaran Islam
kepada Sunnah Rasulullah SAW dan para shahabatnya dengan berpegangan kepada
dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan tidak meninggalkan dalil-dalil akal.
Artinya memegang kepada dalil akal tetapi lebih mengutamakan dalil Al-Qur’an
dan As-Sunnah.
Cara Mempergunakan Dalil dalam Ilmu Tauhid
Madzhab Ahlusunnah wal Jama’ah mendahulukan atau mengutamakan dalil naqli dari
pada dalil aqli. Jika akal manusia diibaratkan mata, maka dalil naqli diibaratkan
pelita. Agar mata kita tidak tersesat, maka pelita kita letakkan di depan
kemudian mata mengikuti pelita. Akal manusia mengikuti dalil Qur’an dan Hadits
bukan Qur’an dan hadits yang disesuaikan dengan akan manusia.
Rasulullah SAW bersabda: (لاَدِيْنَ ِلمَنْ لاَ عَقْلَ لَهُ) tidak ada agama bagi orang yang tidak
berakal. Maksudnya, orang yang berakal menerima agama. Akal menerima agama,
bukan agama menerima akal, karena akal manusia bermacam-macam. Agama ialah
syariat yang diletakkan oleh Allah SWT bersumberkan kepada wahyu dan sunnah
Rasulullah SAW bukan bersumberkan kepada akal. Agama bukan akal manusia dan
akal manusia bukan agama.
Fatwa agama yang datang dari mana pun saja kalau tidak berdasarkan Al-Qur’an,
As-Sunnah, Al-Ijma’ dan Al-Qiyas wajib kita tolak. Maka di dalam ilmu Tauhid
kita berpegangan kepada Al-Imam Abul Hasan Al-Asy’ari dan Imam Abu Manshur
Al-Maturidi.
Al-Imam Abul Hasan Al-Asy’ari dilahirkan di Bashrah pada tahun 260 H dan wafat
tahun 324 H. Beliau belajar kepada ulama’ Mu’tazilah, di antaranya Al-Imam
Muhammad bin Abdul Wahab Al-Jabal. Karena pada masa itu Mu’tazilah merupakan
madzhab pemerintah pada zaman khalifah Abbasiyah; khalifah Al-Ma’mun bin Harun
Al-Rasyid al-Mu’tashim dan Al-Watsiq, dan beliau termasuk pengikut setia
madzhab mu’tazilah.
Setelah beliau banyak melihat kekeliruan faham Mu’tazilah maka beliau
menyatakan keluar dari Mu’tazilah di depan khalayak ramai dengan tegas, bahkan
akhirnya beliau menolak pendapat-pendapat Mu’tazilah dengan dalil-dalil yang
tegas.
Dalam ilmu Tauhid, rukun iman menurut Ahlussunnah wal Jama’ah ada 6 (enam):
Iman kepada Allah, kepada para Nabi/Rasul Allah, Kitab Suci Allah, Malaikat
Allah, Hari Akhir, dan Qadla/Qadar Allah, yang insya Allah akan diuraikan pada
kesempata berikutnya.
KH A Nuril Huda
Ketua PP Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU)
0 komentar:
Posting Komentar