Fakta jika mayoritas umat Islam di Indonesia
adalah pengikut ajaran Sunni atau ahlussunnah wal jamaah (aswaja) tidak dapat dipungkiri. Keberhasilan itu tidak bisa
dilepaskan dari peran Nahdlatul Ulama yang sedari awal berdiri meneguhkan diri
sebagai pengamal dan pengawal ajaran ahlussunnah wal jamaah. Diakui
ataupun tidak, inklusifitas ajaran Nahdhatul Ulama yang ditransformasikan dari
nilai-nilai aswaja telah memberikan kontribusi besar terciptanya wajah moderat
dan fleksible Islam di Indonesia
Bangsa
Indonesia yang multikultur serta kaya akan ragam tradisi, tidak menghalangi
Islam ala NU membumi. Mengacu pada teori Islam Kolaboratif Prof. Nur Syam,
fleksibilitas doktrin sunni mampu berkolaborasi dengan tradisi-tradisi non
Islami yang telah mapan tanpa menghilangkan nilai-nilai ajaran Islam yang
bersifat absolut.
Fenomena kenduri, tahlilan, perayaan maulid, peringatan tiga
hari, tujuh hari serta seratus hari pasca kematian, adalah bukti bentuk
metamorfosa nilai-nilai ajaran Islam dengan budaya masyarakat Indonesia pra
Islam. Sehingga, keberadaan Islam dapat diterima menjadi agama mayoritas
masyarakat Indonesia tanpa resistensi yang berarti.
Dalam kajian historis, Walisongo sangat berjasa menanamkan ajaran ahlussunnah di
ranah Nusantara. Namun, NU sebagai organisasi sosial keagamaan memiliki andil
yang signifikan dalam mempertahankan ajaran ideologi Sunni. Menjamurnya
organisasi keagamaan yang mengusung purifikasi dan pembaruan Islam dalam dekade
awal abad 20 secara sistemik dan masif melakukan penggerogotan. Di sinilah NU
berperan aktif melakukan pendampingan serta pengawalan terhadap tradisi Sunni
sebagai way of life mayoritas umat Islam Indonesia.
Satu hal pokok yang tidak boleh dilupakan bahwa wajah Sunni Nahdlatul Ulama
sangat dipengaruhi oleh paradigma Aswaja Hadratus Syeikh Hasyim Asy’ari. Tidak
berlebihan jika KH Hasyim Asy’ari ditahbiskan sebagai ideolog Sunni Indonesia.
Penelitian terbaru tentang pemikiran tokoh pendiri organisasi sosial keagamaan
terbesar di dunia ini, Dr Achmad Muhibbin Zuhri menemukan corak Sunni KH Hasyim
Asy’ari sangat khas dan tidak sebangun persis dengan konstruksi Sunni era awal,
meskipun dalam banyak hal tetap mencerminkan pola Sunni.
Sunni Partikular ala Mbah Hasyim
Ahlussunnah wal jamaah sebagai ideologi tidak dapat dilepaskan dari
normatifitas ajaran yang telah digariskan pengagasnya. Namun, dalam tataran
praksis, normatifitas ajaran ahlussunnahtersebut tidak bisa melepaskan
diri dari proses dialektika dengan dinamika sosio religious yang mengelilingi.
Jika entitas sunni era awal pembakuan sebagai counter ideologis terhadap
Mu’tazilah dan Jabariah, serta counter politic terhadap syi’ah. Hal
ini berbeda dalam konteks di mana Mbah Hasyim hidup.
Meskipun bangunan pemikiran Mbah Hasyim dipengaruhi oleh pemikiran ulama abad
pertengahan dan klasik, namun dekade Mbah Hasyim identik dengan era pertarungan
antara entitas Islam Tradisional yang diwakili oleh masyarakat pesantren dan
mayoritas umat Islam Indonesia yang berhaluan sunni, berhadapan dengan entitas
Islam puritan dan pembaharu yang dikelompokkan dalam Islam Modernis. Uniknya,
kelompok Tradisionalis maupun Puritan-Modernis sama-sama mengaku sebagai
entitas sunni dan secara geneologis bertemu pada simpul Ahmad bin Hanbal
pendiri Madzhab Hanbali yang dikenal otoritasnya sebagai ahli hadist.
Konstruksi naratif pemikiran Mbah Hasyim dapat dipandang sebagai salah satu
“counter discource” terhadap mainstream pemikiran modernis dan puritan. Yakni
kelompok yang menolak secara tegas pola bermadzhab dan taqlid serta melarang
bid’ah atau kreatifitas dalam ibadah yang secara eksplisit tidak terdapat acuan
dalam nash Al-Qur’an maupun Al-Hadis.
Pandangan Mbah Hasyim mengenai tawassul, istighatsah, syafa’at, kewalian,
maulid, tarekat, dalam beberapa kitab karangannya merupakan wacana tanding
pemikiran kelompok Islam Puritan yang dikembangkan oleh Muhammad bin Abdul
Wahhab pendiri Aliran Wahhabi. Sedangkan isu-isu pembaruan yang dimunculkan
oleh kalangan Modernis pengikut pemikiran Jamaluddin al-Afghani, Rasyid Ridha
dan Muhammad Abduh, direspon oleh Mbah Hasyim dalam pembahasan seputar ijtihad,
madzhab, taqlid, talfiq, sunnah dan bid’ah.
Menurut Muhibbin, deskripsi pemikiran keagamaan Kiai Hasyim di atas
berimplikasi teoritis terhadap konsep Sunnisme. Mbah Hasyim dapat diintrodusir
sebagai “sunni partikular”, yaitu paham ahlussunnah wal jamaah yang
telah berdialog dengan dinamika keagamaan di Indonesia, khususnya dialektika modernis-tradisionalis
pada abad ke-20. (hal. 265)
Sebagai bagian dari komunitas Nahdliyin, penulis telah berhasil menggali dengan
mendalam tentang konstruksi pemikiran KH. Hasyim Asy’ari. Tokoh pendiri
Nahdlatul Ulama yang hingga saat ini menjadi ikon Islam subtantif dan moderat.
Buku ini merupakan hasil disertasi yang diterbitkan, sehingga alur penulisannya
sistematis dan analisanya mendalam. Oleh penulis, pembaca diajak mengarungi
pemikiran ahlussunnah KH. Hasyim Asy’ari secara runtut dan detail.
Mulai dari kajian embrio munculnya pemikiran Sunni, konsolidasi, pelembagaan
ideologi sunni era abad pertengahan, hingga dialektika sunni dengan realitas
sosio-religius yang melingkupinya dalam berbagai dekade.
Tidak kalah menarik, uraian tentang latar belakang intelektual yang membentuk
paradigma Sunni KH Hasyim Asy’ari serta bagaimana pendiri Nahdlatul Ulama ini
berusaha mendialektikakan mainstream sunni dengan realitas sosio-religious
masyarakat Indonesia era awal abad 20. Sehingga, tampak jelas kepiawaian Mbah
Hasyim dalam merumuskan doktrin-doktrin ahlussunnah dari nash
Al-Qur’an dan Al-Hadis yang pada akhirnya memunculkan bentuk sunni yang khas
Indonesia.
Studi dalam buku ini, selain dapat memberikan referensi bagi usaha-usaha
reaktualisasi ideologi, juga berguna menambah khazanah keilmuan tentang Sunni
Partikular, yaitu ekspresiahlussunnah wal jamaah pada dimensi ruang dan
waktu tertentu. Selain itu, buku ini merupakan wujud usaha aktualisasi
sekaligus kontekstualisasi ahlussunnah wal jamaah yang bercorak inklusif,
moderat dan fleksible dalam bersinggungan dengan kesejarahan umat. Walhasil,
apresiasi yang besar layak diberikan kepada penulis, sebab isi buku ini
menambah kekayaan tafsir tentang ahlussunnah di saat gempuran
ideologi “kaca mata kuda” Islam puritan yang cenderung eksklusif
menguncang kedamaian dan kesantunan dalam beragama dan keberagamaan. Wallahu
a’lam....
0 komentar:
Posting Komentar