sebelumnya, assalamualaikum wr wb
pada kesempatan kali ini saya ingin mengkaji lebih dalam mengenai kultur kejahatan yang ada di madura khususnya Bangkalan.
inspirasi ini saya peroleh ketika mengikuti mata kuliah viktimologi yaitu ilmu yang mempelajari tentang korban pagi ini, senin (18 september 2017)
sampai saat ini saya masih terheran-heran dengan sebuah kisah yang mengisahkan bahwa di bumi tempat saya mencari ilmu ini seseorang harus menebus barang miliknya sendiri, sedikit lucu dan tidak sama sekali bisa di cerna oleh pemikiran kritis seorang akademik. tapi inilah adanya.
terkisah bahwasanya ketika seseorang kehilangan motor khususnya mahasiswa UTM ( karena yang saya tau selalu mahasiswa dan bukan berarti tidak berlaku untuk warga biasa) mereka harus menebus motornya yang hilang agar bisa kembali dengan sejumlah uang. pertanyaannya, jika seorang mahasiswa tadi tau bahwa ia harus menebus sejumlah uang otomatis dan secara bersamaan korban (mahasiswa) mengetahui siapa yang telah mencuri motornya, lantas mengapa hal tersebut masih dibiarkan dan membudaya dikota dzikir dan shalawat ini?
kajian ini saya landaskan pada teori sistem hukum dari Lawrence M. Friedman yang mengemukakan bahwa efektif dan berhasil tidaknya penegakan hukum tergantung pada 3 unsur, yaitu: substance of law (substansi hukum), structure of law (struktur hukum), dan legal culture (budaya hukum).
substansi hukum berarti berbicara tentang undang-undang, sudah adakah undang-undang yang mengatur tentang hal tersebut atau tidak, kemudia struktur hukum yaitu lebih berbicara pada aparat penegak hukumnya, sudah berjalan dengan baikkah penegakan hukum di Bangkalan ini, dan yang terakhir adalah berbicara tentang budaya hukumnya. sangat disayangkan sekali hal yang membudaya seperti kasus diatas hanya dibiarkan begitu adanya oleh kaum intelektual yang katanya adalah agen perubahan.
bahkan beberapa kali saya mendengar jika ada kejadian tersebut dan langsung melapor pihak berwajib maka alamat motornya tidak akan pernah kembali. lalu apa saja yang kita lakukan selaku agen perubahan? jawabannya adalah mengamini budaya tersebut.
hahahaha, mereka sibuk mendiskusikan negara. bahkan saya sempat berpikir apa yang akan saya lakukan jika hal tersebut menimpah saya, naudzubillah
hal yang telah membudaya seperti ini perlu kiranya kita kaji agar bisa menemukan solusi bersama, solusi yang ingin saya sampaikan sebenarnya memang masih kebingungan juga namun bisa kembali pada kesadaran masing-masing, hal ini sangat memerlukan pemikiran dari kaum intelektual, mari jangan hanya berdiskusi mengenai negara namun juga harus ada implementasi atau wujud nyata dari hasil yang telah di diskusikan dengan memberantas beberapa kebiasaan yang sudah mulai membudaya kotor tersebut.
oleh: Lina Andriyani
Kader rayon al-amien
0 komentar:
Posting Komentar