Selasa, 19 September 2017

Menjadi seorang aktivis perempuan



*Untuk menjadi seorang aktivis perempuan*

Kultur budaya khususnya di Madura masih saja memandang seorang perempuan ialah tidak penting atau bisa dikatakan perempuan second class. Tentu saja hal tersebut tidaklah adil untuk para perempuan itu sendiri, maka tidaklah heran jika para perempuan sekarang selalu menyebut-nyebut  frasa yaitu *kesetaraan gender,* namun yang perlu digaris bawahi adalah kesetaraan yang seperti apa?

Jika mendiskusikan hal ini dengan lawan jenis tentu tidak akan pernah ada akhirnya, laki-laki tidak akan mau disaingi oleh perempuan, disisi lain perempuan ingin menyuarakan dan menuntut haknya. Kiranya perlu dirubah dan di luruskan terlebih dahulu mindset atau pemikiran yang telah mencapai level keyakinan tersebut.

Ilmu yang saya peroleh dari mengikuti *sekolah islam gender* (SIG) setahun yang lalu, bahwa perempuan itu memiliki 2 ranah, yaitu ranah domistik dan ranah publik. Kultur budaya yang selalu mengatakan bahwa perempuan itu hanya di dapur, di sumur, dan di kasur inilah yang menjadi alasan utama para perempuan harus berteriak kesetaraan gender, padahal bagi yang pencipta tidak ada perbedaan seperti itu, yang membedakan hanya tingkat keimanannya. Lantas mengapa mindset orang madura seperti ini?

Ketika seorang perempuan hendak melanjutkan pendidikan selalu ada saja alasan sehingga tidak akan diizinkan. Namun ketika anak laki-laki hendak melanjutkan pendidikan dan mengejar cita-citanya dukungan datang dari semua kalangan. Pemikiran macam apa ini? Sekali lagi saya tegaskan perempuan tidak akan berteriak kesetaraan gender jika mindset seperti itu dibuang. Seorang perempuan hanya ingin mendapatkan hal yang layak halnya laki-laki, hak untuk berpendidikan, hal untuk bisa menyampaikan pendapat. Judul skripsi untuk anak hukum (pertanggung jawaban pidana mengenai penegakan HAM (perempuan) ditinjau dari kultur budaya Madura), ini merupakan isuk hukum perempuan bisa menuntutnya.

Dan juga yang sering kali membuat mahasiswi galau adalah untuk ikut organisasi, kita ketahui sendiri bahwa bahasa-bahasa yang biasa digunakan anak organisasi adalah rapat dan ngopi, sedangkan para perempuan untuk hal seperti saja sudah sangat dibatasi, belum ditambah cemohan yang akan diperoleh dari tetangga karena pulang malam, ngumpul dengan yang bulan muhrimnya dan lain-lain. Ribet kan jadi perempuan?

Di satu sisi, untuk perempuan masa kini karir ialah sangat penting. Seorang tidak akan mengingkari takdirnya diranah domistik, yaitu melahirkan, menyusui, dan melayani suami. Perempuan sangat sepakat jika ranah ini telah menjadi kodrati perempuan, perempuan juga tidak mengingkari jika perempuan harus berada dibawah pengampunan laki-laki (untuk perempuan yang telah bersuami).

Berbicara ranah publik yaitu perempuan setara dengan laki-laki dalam hal berpolitik, pendidikan dan sebagainya. Jadi dapat disimpulkan bahwa yang selalu diteriakkan perempuan adalah di ranah publik, tentu pria akan pasang muka karena tidak ingin disaingi oleh perempuan, entah takut dikalahkan atau malu.

Saya sering mendengar bahwa laki-laki adalah emas 24 karat, tapi saya katakan bahwa perempuan adalah ibtan berlian. Perempuan sholiha adalah sebaik-bainya  dunia. Surga ada di bawah kaki perempuan (ibu), jadi mari kita ubah pemikiran buruk yang sangat tidak baik tersebut.

Pejuang emansipasi wanita, ibu besar kita Kartini adalah istri kedua. Hal inilah yang menjadi tolak ukur perempuan untuk minder, memang ada masalah apa jika Kartini istri kedua? toh dalam ranah publik beliau mampu mengalahkan para laki-laki masa itu, Kartini lebih di kenal daripada laki-laki waktu itu.

Disadari atau tidak, kitalah Kartini modern. Kartini dikenal karena tulisannya, seperti pepatah "aku ada karena aku menulis".

Jadi sudah jelas apa sebenarnya yang diinginkan oleh para wanita, tidak untuk menyaingi laki-laki dan menuntut apapun, mengutip kata-kata ustadzah Oki Setiana Dewi "setidaknya anak-anakku dirumah dididik oleh seorang Dr." 🙂


oleh: Lina Andriyani

0 komentar:

Posting Komentar