Di awal masuk kuliah, bukan hal baru lagi jika banyak organisasi
yang berlomba-lomba untuk mengkader anggota baru. Bahkan organisasi tercinta
ini juga melakukan hal yang sama. Namun mirisnya, apa yang dilakukan oleh para
anggota bukanlah sekedar memperkenalkan organisasi tersebut kepada maba. Tetapi
lebih seperti mereka menjual organisasi mereka dengan dalih demi mendapatkan
anggota baru.
Terlepas dari itu semua, memang banyak anggota baru yang direkrut.
Namun yang didapatkan hanyalah kuantitas. Bukanlah kualitas. Buktinya loyalitas
dari mereka yang dikader dengan cara demikian masih dipertanyakan saat mereka
memutuskan untuk ‘hengkang’ dari PMII. Keanggotan mereka yang ikut tanpa niat
dari hati hanya menjadikan PMII sebagai pembenar dan alat menyombongkan diri,
bahwa ‘ini lo saya, seorang aktivis sejati !’ Hal seperti ini juga terjadi di
masanya saya saat menjadi maba.
Tetapi anehnya, tidak ada satu suara seniorpun mengenai PMII yang
masuk dan mencoba mendoktrin saya saat itu. Malah saya yang pontang-panting
mencari mereka saat mendapatkan kabar bahwa anak-anak PMII akan berkumpul malam
itu. Namun belum bertemu dengan senior PMII satu pun, saya malah dipertemukan
dengan seorang senior yang mana setelah saya resmi menjadi anggota PMII, saya
baru tahu bahwa dia adalah salah satu senior dari sebelah. Sempat saat itu saya
didoktrin. Jika harus mengingat bagaimana saya tanpa dampingan senior manapun
harus menghadapi Mas ‘L’ dengan kemampuan berbicara saya yang masih jauh
dibawahanya, saya pasti tertawa.
Namun, karena saya dari awal sudah menetapkan pilihan untuk
berproses dengan pergerakan ini, bagaimanapun doktrin dan iming-imingan yang
diberikan, saya tidak terpengaruh. Saya iyakan, tapi juga saya tidakkan. Hingga
akhirnya saya bertemu dengan senior-senior PMII hingga berhasil mengikuti
Mapaba di Rayon Hukum.
Resmilah sudah saya menjadi anggota PMII. Dengan tujuan murni.
Bukan untuk mencari jabatan, meski dari awal sebelum saya bergabung saya sudah
tahu bahwa PMII jika dianalogikan, ia seperti kendaraan untuk perpolitikan
kampus. Bukan pula untuk coba-coba. Saya memilihnya tulus dari hati saya untuk
belajar lebih dalam bagaimana seharusnya seorang aktivis itu berpikir,
bertindak, dan bergerak dengan tuntunan Islam NKRI di Indonesia.
Sampai saya berdiri di semester 3, banyak sekali pelajaran yang
saya ambil dengan bergabungnya saya disini. Saya belajar bagaimana seharusnya
saya bersikap sebagai seorang mahasiswa. Saya diajari bagaimana seharusnya saya
bertindak sebagai seorang wanita. Saya belajar bagaimana menyikapi orang lain
dengan berbagai macam sifat. Saya diajari bagaimana cara menyelesaikan sebuah
masalah. Saya juga belajar menjadi seorang perempuan sejati dalam lingkaran
wanita-wanita hebat PMII yakni KOPRI.
Selama hampir 2 tahun saya belajar dan berproses di PMII, saya
menyadari bahwa saya belumlah matang. Namun setidaknya saya tahu dan paham
tentang bagaimana seorang aktivis dalam naungan PMII itu sebenarnya dan
seharusnya. Saya mempelajarinya dari ideologi PMII, NDP, dan sejarah PMII itu
sendiri.
Selama hampir 2 tahun saya berproses di PMII dan organisasi intra
kampus, saya banyak mengerti bahwa tidak semua kader PMII bisa disebut KADER
PMII. Hal ini disebabkan masih banyak yang mengaku sebagai orang PMII, namun
sifat sikapnya sama sekali tidak menunjukkan bahwa dia orang PMII.
Kader PMII bukanlah mereka yang dengan mudahnya mengentengkan
perintah Allah dalam Islam. Kader PMII bukanlah mereka yang membenarkan IPK nya
rendah dikarenakan sibuk megatur organisasi. Kader PMII bukanlah mereka yang
membenarkan dirinya mengumbar kemaksiatan. Kader PMII bukanlah mereka yang
tidak sungguh-sungguh dalam bekerja atupun menyelesaikan tugas organisasinya di
luar PMII. Kader PMII bukanlah mereka yang memilah-milah dalam tugas. Kader
PMII bukanlah mereka yang tidak mau membaur dan menyatu dengan masyarakat
lainnya. Kader PMII bukanlah mereka yang dengan mudahnya lari dari tanggung
jawab. Kader PMII bukanlah mereka yang membenarkan segala perbuatannya,
meskipun dia sadar dia salah, dikarenakan dia berada di jabatan yang lebih
tinggi.
Mereka yang selalu sadar bahwa dirinya bukanlah siapa-siapa
melainkan hanya makhluk Allah yang lemah. Mereka yang mampu mengembangkan
dirinya dengan segala kemampuan positif yang dimilikinya. Mereka yang mampu
berdiri dengan kejujuran betapapun sulitnya. Mereka yang mampu memilah dan
memilih mana yang baik dan mana yang salah. Mereka yang dengan tawaran setinggi
apapaun, bila itu menyalahi ajaran Islam dan PMII, tetap berani menolak untuk melakukannya.
Mereka yang berani menanggung resiko sebesar apapun untuk mengungkapkan
kebenaran. Mereka yang selalu siap berdiri di garda terdepan apabila ada
ketidak adilan. Mereka yang senantiasa percaya bahwa dirinya berdiri sebagai
mahasiswa, bukanlah hanya untuk belajar. Tapi berjuang untuk masyarakat. Dan
mereka yang selalu menekankan dalam hatinya bahwa semua ini mereka lakukan hanya
untuk perjuangannya sebagai hambaNya, orang tua, rakyat, dan negara. Merekalah
yang pantas untuk disebut sebagai Kader PMII.
JANGAN SEKALI KALI BERANI MENYEBUT DIRI KITA SEBAGAI SAHABAT
SAHABATI PMII JIKA DENGAN SADAR MELAKUKAN KESALAHAN HINGGA MENCORENG NAMA
ORGANISASI TERCINTA !
Belajar dan berproses itu boleh. Selama berproses pasti akan ada
kesalahan. Tapi ingatlah almamater sahabat sahabati untuk setiap tindakan yang
dilakukan. Secantik apapun sang bunga, apabila kelopaknya berlubang, maka
hilanglah keindahannya. Artinya, seindah apapun organisasi tercinta jika
ditemukan borok yang meskipun hanya dilakukan oleh salah seorang oknum dengan
sengaja ataupun tidak sengaja, bukan pelakunya yang dilihat buruk. Tapi PMII
lah yang dikatakan buruk.
Memang tidak berhak mereka menyalahkan organisasi secara
keseluruhan hanya karena apa yang dilakukan salah seorang anggota. Tapi selalu
ingat bahwa anggota adalah cerminan organisasi yang ada. Jangan jadikan PMII
hanya menjadi penghias di dada. Bahan ingatan di kepala. Ataupun organisasi
yang bisa dibanggakan kepada mereka. Tapi jadikanlah PMII sebagai rumah dan
keluarga.
By : Vien Yari